Animasi
Indonesia, yang selanjutnya dalam tulisan ini disingkat AI sementara ini adalah
istilah yang merujuk pada animasi buatan Indonesia, bukan animasi di Indonesia.
Namun demikian, untuk menemukan dan membuat definisi yang komprehensif tentang
AI tidak bisa dilepaskan dari faktor atau konteks sejarah. Konteks sejarah
tersebut tidak harus dibatasi oleh sejarah ketika bangsa Indonesia memproklamirkan
berdirinya Negara bernama Indonesia tahun 1945. Masa pra kemerdekaan adalah
fase penting dan genting dalam sejarah politik Indonesia yang melatarbelangaki
berdirinya Negara bernama Indonesia. Dengan demikian perlu dilakukan riset
sejarah untuk mendapatkan pemahaman yang lengkap dan utuh tentang apa yang
disebut dengan AI dalam masa yang menentukan tersebut, yaitu masa kolonial
(dibatasi setelah tahun 1900) hingga masa awal orde lama (1955). Dalam konteks
sejarah animasi, tahun 1900an adalah masa awal ditemukannya film sehingga era
ini disebut dengan era eksperimentasi atau silent
era yang berlangsung hingga 1927. Menariknya masa setelah era ini adalah masa
keemasan animasi kartun yang berlangsung dari tahun 1928 hingga 1957 yang
berdekatan dengan masa awal era orde lama. Dimana ditahun 1955 disebutkan bahwa
animasi pertama Indoensia berjudul ”Si Doel Memilih” buatan Dukut Hendronoto
dibuat untuk kepentingan propaganda pemilu pertama di Indoensia saat itu. Inilah
rentang antara tahun 1900 hingga 1955 menjadi fase yang dianggap menentukan
untuk menjadi latarbelakang dalam sejarah AI.
Sementara
itu, riset sejarah yang menjadikan AI sebagai obyek atau tema penelitian masih
sangat jarang. Bisa dibilang yang pertama kali dan mungkin satu-satunya yang
meneliti tentang sejarah AI adalah seorang seniman animasi sekaligus akademisi dari
Institut Kesenian Jakarta (IKJ) bernama Gotot Prakosa melalui karya tesisnya
yang berjudul “Film Animasi Indonesia pada Era Reformasi” tahun 2004.
Penelitian tersebut mengambil era reformasi yang merupakan era transisi
demokrasi dari era orde baru yang memiliki banyak pengaruh terhadap
perkembangan atau “bangkitnya” animasi Indonesia. Penulis sejauh ini tidak
menemukan tulisan lain yang menjadikan animasi sebagai obyek atau tema sentral
dalam penilitian sejarah. Bahkan pada saat tesis tersebut dibuat, penulisnya
mengklaim bahwa tidak ada satupun tulisan atau buku yang secara khusus membahas
sejarah AI di Indonesia (Prakosa, 2004; 6). Ironisnya lagi dalam kronik sejarah
film Indonesia, film animasi juga tidak pernah dibahas (Prakosa, 2008). Tentu
kondisi ini menjadi sangat memprihatinkan, ketika para praktisi film dan
terutama para akademisi (shcolar)
seolah memandang sebelah mata AI sebagai bagian penting dalam perkembangan
budaya visual maupun budaya populer di Indonesia. Namun minimnya riset ternyata
juga terjadi di dunia film sehingga muncul banyak keprihatinan, terutama
terkait dengan arsip film. Seperti yang diungkapkan Salim said sejak tahun 1991
dalam bukunya “Pantulan Layar Putih”, dimana sebagian film revolusi telah
musnah dan hancur. Yang tersisa hanyalah guntingan koran, majalah, sinopsis
film-film tersebut. Bahkan kliping Koran nyapun tidak ada, lalu bangaimana
membuktikan bahwa itu adalah animasi pertama Indonesia? (Said, 1991). Nasibnya kurang
lebih sama dengan film animasi pertama yang dibuat oleh Dukut Hendronoto pada
tahun 1955 yang tidak ketahuan seperti apa bentuk dan rupanya sampai sekarang?
Bahkan ketika penulis mencoba memverifikasi kepada tokoh-tokoh sejarah animasi,
penulis mendapati kesimpang siuran informasi terkait film animasi buatan Dukut Hendronoto
tersebut. Jika film AI pertama saja tidak ditemukan arsipnya maupun kliping
korannya, bagaimana dengan masa-masa sebelumnya? Tentu saja untuk menjawab
pertanyaan adakah upaya Hindia Belanda mengembangkan film animasi di Indonesia?
Jika ada, dimana dapat menemukan jejaknya? Sejauh yang dilakukan Prakosa dalam
risetnya menyebutkan bahwa animasi-animasi buatan Disney baru diputar di
Indonesia sejak tahun 1940an yang merupakan masa emas animasi kartun yang saat
iru memang didominasi oleh Studio Disney. Keterangan tersebut berdasarkan
wawancaranya dengan Drs Suyadi (Pak Raden) dan Rahim Latif yang merupakan
importir film dan pemilik bioskop di Surabaya (Prakosa, 2004; 33). Sedangkan Walt Disney sendiri telah
memproduksi film animasi sejak era film bisu (sebelum 1927). Sementara film populer
buatan Amerika (Hollywood) telah diimpor sejak tahun 1920an. Bahkan film-film
buatan Hollywood tersebut sering diputar lebih awal di Hindia Belanda daripada
di negeri Belanda sendiri (Biran, 2009; 33). Fakta-fakta tersebut menjadi tantangan
bagi penulis untuk menyajikan historiografi AI melalui riset sejarah. Salah
satu hipotesa penulis adalah bahwa animasi adalah seni yang kompleks dan
“mahal” yang berbeda dengan film live
shot (meskipun memiliki awal sejarah yang tidak bisa dipisahkan), sehingga
memerlukan upaya yang jauh lebih keras untuk memproduksinya. Dengan demikian
perkembangan animasi di Indonesia dapat dijadikan sebagai tolak ukur kemajuan
peradaban sebuah bangsa bernama Indonesia yang berhubungan erat dengan sosio
ekonomi, politik, maupun sosio kultural bangsa Indonesia.
Tulisan ini
merupakan pengantar dari riset penulis sebelumnya tentang AI dalam konteks animasi
dunia. Jika penelitian sebelumnya fokus pada pemetaan global animasi Indonesia
dalam konteks animasi dunia, pengantar tulisan penelitian ini lebih fokus lagi
ke tahap awal perkembangan animasi di Indonesia di era kolonial hingga masa
awal orde lama tahun 1900 hingga tahun 1956. Sehingga diharapkan dapat
memberikan gambaran detail tetang awal mula masuknya animasi di Indonesia.
Mengetahui awal masuk dan perkembangan animasi di Indonesia menjadi modal
penting untuk memberikan gambaran utuh tentang AI. Berdasarkan hasil riset yang
dilakukan penulis sebelumnya yang mencoba memetakan posisi sejarah perkembangan
animasi Indonesia dalam konteks sejarah animasi dunia, penulis mendapatkan
kesimpulan yang cukup menarik. Kesimpulan pertama, meskipun perkembangan film
yang berhubungan erat dengan perubahan sosial masyarakat era kolonial telah
sama tuanya dengan perkembangan film di eropa dan Amerika. Bahkan jika dilihat
dari sejarah film sebagai medium animasi, perkembangan awal film di Indonesia
bisa dikatakan sama dengan awal perkembangan film dunia dan telah berlangsung
semenjak era kolonial Belanda awal abad 20. Namun demikian, jika animasi
dilihat dalam konteks film layar lebar (feature
length movie), berdasarkan aspek produksi, animasi adalah medium yang
kompleks dan mahal. Maka bisa dianggap “wajar” jika perkembangan animasi di
Indonesia dalam konteks global untuk kategori tersebut (layar lebar) tergolong
sangat lambat, sehingga diperlukan dukungan yang kuat dari pemerintah ataupun
swasta jika ingin mengembangkannya. Kesimpulan kedua, perkembangan awal film
animasi Indonesia sempat menemukan momentumnya di awal era televisi, terutama
untuk animasi iklan, namun untuk animasi serial TV, perkembangannya meredup
kembali di tahun 80an hingga 90an, dimana pada saat itu animasi di Indonesia
banyak didominasi oleh animasi luar terutama Jepang dan Amerika. Kesimpulan
ketiga, perkembangan animasi Indonesia selanjutnya menemukan momentumnya kembali
di era digital meskipun terlambat hampir 10 tahun lamanya jika dilihat dalam
konteks perkembangan animasi dunia (global), baik secara bentuk maupun
teknologi. Kemudahan teknologi digital melahirkan apa yang disebut
“demokratisasi” dalam animasi, sehingga animasi tidak lagi “mahal” dan
dimonopoli oleh studio-studio besar dan mapan. Disamping ketiga kesimpulan
tersebut, muncul kesimpulan menarik yang luput dari penulisan sejarah film
maupun animasi Indonesia, yaitu munculnya animasi eksperimental (Avanguard animation) pada tahun 80an
yang mampu bersaing di festival-festival animasi internasional dengan Gotot
Prakosa sebagai salah satu “iconnya”. Masuknya Indonesia ke anggota ASIFA pada
tahun 2006 juga menjadi penanda penting diakuinya Indonesia dalam forum animasi
internasional tertua tersebut. Animasi jenis ini mengambil jalur yang berbeda
dari animasi komersial, yang kiblatnya lebih ke Eropa (terutama Perancis dan
Italia) daripada ke Amerika Serikat.
Dalam
sejarah animasi dunia, era tahun 1900 sampai dengan 1927 (dalam sejarah animasi
sering disebut dengan “before Mickey”) adalah era yang menentukan dalam sejarah
animasi. Era ini disebut sebagai silent
era, juga disebut sebagai era eksperimentasi animasi, yaitu setelah
lahirnya cinema di akhir abad 19 atau menjelang abad 20 oleh Lumiere Brothers
di Perancis pada tahun 1895. Sebuah era modern dalam film dan animasi yang
megakhiri era “device” seperti traumatrophe, praxinoscope, dsb dalam
animasi. Sedangkan era sesudahnya, 1928 hingga 1957 adalah era emas film
animasi kartun (the golden age of
Cartoon) yang dipelopori oleh Walt Disney, yang mampu menggabungkan
kekuatan seni, teknologi, dan komersialisasi dalam animasi, yang merupakan
kesuksesan besar animasi setelah era eksperimansi. Di Indonesia masa 1900an
awal adalah masa kolonial Belanda, yang membawa modernisme salah satunya
melalui film yang sudah mulai diputar di bisokop-bioskop di Hindia Belanda
sejak awal abad 20 atau awal 1900an. Dengan demikian, Indonesia sebagai negeri
jajahan Belanda, hadirnya film di Indonesia terjadi tidak lama setelah lahirnya
cinema di Eropa (film/cinema pertama diputar di sebuah bioskop di Batavia pada
tahun 1900, sedangkan cinema pertama diperkenalkan oleh Lumiere Brothers di
Perancis tahun 1895). Lalu bagaimana dengan animasi di Indenesia? Bagaimana
awal mula masuknya animasi di Indonesia, yang di Eropa dan Amerika lahir
bersamaan dengan cinema? Apakah animasi di Indonesia juga lahir bersamaan
sehingga seusia dengan film (live shot)? Ini penting untuk diketahui sebelum
kita bicara tentang animasi Indonesia. Pada masa kolonial tersebut, adakah
upaya dari Hindia Belanda untuk mengembangkan animasi sebagaimana yang mereka
lakukan untuk mengembangkan film (live
shot) di Hindia Belanda? Sebagai negara yang pernah dikolonialisasi cukup
lama sehingga menghadirkan modernime yang lebih cepat melalui kontak langsung
dengan modernisme eropa yang dibawa oleh Belanda yang salah satunya melalui
film, juga terjadi pada animasi? Jika kontak tersebut telah lama kenapa animasi
“sulit” berkembang di Indonesia? Apakah ini memperkuat dugaan bahwa animasi
sangat erat dipengaruhi oleh kebijakan politik dan faktor sosio kultural di
Indonesia di masa kolonial dan sesudahnya? Bagaimana juga dengan animasi di
masa transisi dari era kolonial ke era awal kemerdekaan (era awal orde lama)?
Begitu banyak pertanyaan! Itulah antara lain pertanyaan-pertanyaan sekaligus
hipotesa yang akan dijawab dan dibuktikan melalui kajian sejarah animasi modern
di Indonesia melalui penelitian ini.
Dengan
latar belakang diatas, dan melihat perkembangan animasi Indonesia yang belum
pernah mapan dan mencapai kejayaan layaknya medium seni yang lain sepeti film
dan komik pada tahun 70 hingga 80an, dan bangkitnya kembali komik dan film di
tahun 2000an, dimana animasi baru mengalami kebangkitan di tahun 2000an, atau
di era reformasi. Juga melihat realitas yang harus dibuktikan melalui kajian
sejarah bahwa animasi indonesia berkembang tanpa arah dan tujuan dan lebih
bersifat ‘chaos” dan tidak menjadi
bagian penting dalam industri dan pendidikan di tanah air hingga era reformasi.
Terutama dengan melihat fakta bahwa AI merupakan obyek penelitian yang masih
sangat jarang dilakukan, apalagi dalam konteks kajian sejarah, sehingga
penelitian ini termasuk penelitian pertama yang akan menjadi rangkaian
penelitian yang fokus pada kajian sejarah animasi Indonesia untuk merangkai
sejarah animasi Indonesia secara utuh dan lengkap. Dengan demikian penelitian
ini sangat penting untuk dilakukan, karena hasil penelitian ini dapat
dimanfaatkan sebagai rujukan akademik maupun praktis tentang sejarah animasi
Indonesia di tengah kebangkitannya, semoga! (AK)
Reference
Prakosa, Gatot (2010), Animasi: Pengetahuan Dasar Film Animasi Indonesia, Yayasan Visual Indonesia (Nalar), Jakarta.
Prakosa, Gatot (2008), Film Pinggiran; Antologi Film Pendek, Film Eksperimental, dan Film Dokumenter, Yayasan Seni Visual Indonesia, Tangerang.
Prakosa, Gatot (2004), Film Animasi Indonesia pada Masa Reformasi, Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta.
Said, Salim (1991), Pantulan Layar Putih, Film Indonesia dan kritik dan komentar, Pustaka Harapan, Jakarta.
No comments:
Post a Comment